- Back to Home »
- Renungan »
- Untuk Apa Kita Hidup ?
Posted by : Ari Sutrisno
September 13, 2012
Kita lahir ke dunia. Tumbuh menjadi
besar. Sekolah dari TK, SD, SMP, SMU dan jika beruntung meneruskan
kuliah. Lalu bekerja dan menikah. Punya anak. Jika umur panjang, masih
bisa lihat cucu, buyut, dan -jika beruntung- canggah. Lalu mati. Itulah
gambar kasar dari hidup kita. Lalu hari-hari hidup itu adalah bangun,
mandi, makan pagi, bekerja atau sekolah, makan siang, mengisi waktu
dengan berbagai aktivitas, mandi lagi, makan malam, dan tidur lagi.
Kebanyakan dari kita melakukan hari-harinya seperti itu.
Lalu apa sebenarnya hidup kita ini ? Karl
Marx pernah berkata, ” Hidup itu perut kenyang”. Maksudnya hidup itu
untuk makan (saja). Sedangkan Sigmund Freud berpendapat hidup itu
pemenuhan kebutuhan seksual belaka, lain tidak. Jika kita tanya
orang-orang di sekitar kita tentang ‘untuk apa kita hidup ?’ mungkin
-dan sangat mungkin- jawaban yang kita peroleh adalah sebanyak orang
yang kita tanyai. Maksudnya adalah satu orang menjawab dengan jawaban
yang berbeda-beda dari yang lainnya, sebagaimana pendapat Karl Marx
berbeda dengan Sigmund Freud.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan
tepat, maka gunakan akal sehat kita ! Yang paling tahu untuk apa kita
hidup tentu saja ialah Yang Menghidupkan kita, yaitu Sang Pencipta,
Alloh subhaanahu wa ta’ala. Alloh subhaanahu wa ta’ala berfirman, yang artinya: ” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu..” (QS: Adz-Dzaariyaat: 56).
Sekarang sudah jelas bagi kita, bahwa kita diciptakan dan dihidupkan hanya untuk beribadah kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala saja dan tidak ada tujuan yang lain.
Mungkin timbul pertanyaan: Lalu apakah
hidup kita ini hanya untuk sholat saja, ke masjid saja, mengaji saja ?
Kemudian tidak mancari nafkah, tidak menikah ? Sebelum bertanya-tanya,
lebih dulu harus kita pahami makna ‘ibadah’ itu.
Pengertian Ibadah yang biasa dirujuk oleh
ulama adalah pengertian yang dirumuskan oleh Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyah, yaitu ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang
dicintai dan diridhai Alloh subhaanahu wa ta’ala, baik berupa
ucapan atau perbuatan, yang nampak (lahir) maupun yang tersembunyi
(batin). Sebagian ulama menambahkan dengan: disertai oleh ketundukan
yang paling tinggi dan rasa kecintaan yang paling tinggi kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala.
Ibadah itu banyak macamnya dan terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala), raja’ (mengaharap rahmat Alloh subhaanahu wa ta’ala), mahabbah (cinta kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala),
tawakkal adalah ibadah yang berkaitan dengan hati. Sedangkan membaca
Al-Qur’an, tasbih, tahlil, takbir, tahmid adalah ibadah lisan dan hati.
Sedangkan shalat, zakat, haji, berbakti pada orang tua, membantu orang
kesulitan adalah ibadah badan dan hati.
Jadi ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (untuk mendekatkan diri kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala)
atau apa saja yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan yang mubah
pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepada Alloh
subhaanahu wa ta’ala. Seperti tidur, makan, minum, jual beli,
bekerja mencari nafkah, menikah, dan sebagainya. Jadi ibadah itu
tidaklah sempit cakupannya, bahkan ia mencakup seluruh aspek kehidupan
muslim, baik di masjid maupun di luar masjid.
Sebagai contoh ibadah di luar masjid
adalah bekerja. Banyak hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk
bekerja dan memuji para pelakunya. Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: ” Sesungguhnya sebaik-baik yang kamu makan adalah dari hasil kerjamu sendiri” (HR: Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan An-Nasa-i, dari ‘A-isyah dengan sanad shahih).
Ketika para sahabat menyaksikan seorang
laki-laki berjalan dengan gesit, mereka berkomentar, ” Seandainya (saja)
ia berjalan di jalan Allah (berjihad).” Kemudian Nabi Shallaallaahu ‘alaihi wa sallam
meluruskan pernyataan tersebut dan bersabda, yang artinya: “Jika ia
keluar mencarikan nafkah anaknya yang kecil, maka ia di jalan Alloh subhaanahu wa ta’ala.
Jika ia keluar mencarikan nafkah kedua orang tuanya yang sudah tua,
maka ia di jalan allah, dan jika ia keluar mencari nafkah untuk dirinya
dengan maksud menjauhkan diri dari yang tidak baik, maka ia di jalan
Allah. Dan jika ia keluar dengan maksud riya’ (pamer) dan sombong, maka
ia di jalan setan. ” (HR. Ath-Thabrany dari Ka’ab bin Ujrah dengan sanad
shahih).
Rasululloh shallaalaahu ‘alaihi wa sallam -yang merupakan teladan yang utama dan pertama dalam beribadah-
pada waktu kecil bekerja menggembala kambing dengan upah beberapa
dinar. Kemudian beliau juga pernah berdagang. Begitu pula dengan para
salafush-sholih (para pendahulu Islam yang sholih) mereka juga mencari
nafkah dan membenci pengangguran. Abu Bakar, Utsman dan Thalhah Radhiyallahu ‘anhum adalah pedagang kain. Az-Zubair, dan Amr bin Al-Ash Radhiyallaahu ‘anhuma bekerja menjual pakaian jadi. Imam Ahmad Rahimahullah bekerja sebagai penulis kitab bayaran.
Jadi merupakan pandangan yang salah jika
ada orang yang menganggap bekerja itu tidak termasuk ibadah. Namun tentu
saja, bekerja yang dihitung sebagai ibadah adalah bekerja yang
diniatkan untuk mencari bekal agar bisa mendekatkan diri kepada Alloh subhaanahu wa ta’ala
dan menjaga kehormatan muslim serta harus dengan cara yang halal. Jika
bekerja namun diniatkan untuk menumpuk harta atau berfoya-foya tanpa
memikirkan hak anak, istri, orang tua serta ditempuh dengan cara yang
haram masih ditambah lagi dengan melalaikan kewajiban agama (sholat dan
mncari ilmu agama misalnya), tentu saja bekerja yang seperti ini
tidaklah bernilai ibadah, bahkan hanya menambah dosa.
Ibadah yang bermanfaat adalah ibadah yang diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala. Jika kita telah berlelah-lelah beribadah namun tidak diterima oleh Alloh subhaanahu wa ta’ala maka ibadah kita tidak bermanfaat dan arti hidup kita akan tidak bermakna serta tujuan hidup kita tidaklah tercapai.
Syarat diterimanya ibadah ada dua hal: Ikhlas karena Alloh subhaanahu wa ta’ala semata, bebas dari syirik besar dan kecil & Sesuai tuntunan Rasullulloh shallaallaahu ‘alaihi wa sallam
Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa ilaaha ilaaLlaah,
karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari
syirik kepadaNya. Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat
Muhammadur-Rasululloh karena ia menuntut wajibnya ta’at keada Nabi,
mengikuti tuntunannya dan meninggalkan bid’ah (ibadah atau cara
beribadah yang tidak pernah dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dalil bagi kedua syarat ini ialah firman Alloh subhaanahu wa ta’ala, yang artinya: ”
Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaknya
ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun
(terhadap Alloh) dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS: Al-Kahfi :110).
Kalimat “..maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih..” merupakan manifestasi syarat kedua, yaitu sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena amal shalih itu adalah amal yang pasti telah dituntunkan Nabi.
Sedangkan “..dan janganlah ia mermpersekutukan seorang pun (terhadap
Allah) dalam beribadah kepada Tuhannya.” meruplakan manifestasi syarat
pertama, yaitu keharusan ikhlash.
Dua syarat ini merupakan syarat yang
mutlak. Jadi adalah salah jika orang beribadah dengan cara yang tidak
pernah dituntunkan Nabi kemudian dia berkata untuk membenarkan ibadahnya
: ” Yang penting kan niatnya” atau ” Yang penting kan ikhlas”. Sungguh,
niat tanpa cara yang benar tetaplah salah, dan bisa jadi menjerumuskan
kita pada kesesatan.
Niat ikhlas tidak bisa mengubah cara beribadah yang salah menjadi benar. Apalagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Barang
siapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami (yang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkannya dan tidak
pernah membolehkannya) maka amal itu ditolak” (HR: Al-Bukhary dan
Muslim ). Begitu pula sebaliknya, jika kita telah sesuai dengan tuntunan
Nabi namun niatnya tidak ikhlas, maka amalan kita juga ditolak Alloh azza wa jalla.
Dua syarat ini haruslah dipahami dan
berusaha terus untuk dikaji secara mendalam dan dipraktekkan. Maka tentu
saja merupakan suatu kebohongan yang besar jika ada seorang muslim
banyak ibadahnya tapi tidak pernah belajar bagaimana cara beribadah yang
benar dan bagaimana agar amal ibadahnya dapat diterima Alloh subhaanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu, langkah awal seorang muslim agar tujuan hidupnya
tercapai adalah belajar dulu bagaimana cara beribadah yang benar dan
dapat diterima. Tidak mungkin seorang yang tidak pernah mengaji, tidak
pernah belajar agama bisa benar ibadahnya. Padahal tujuan dihidupkannya
kita ini adalah ibadah -yang mencakup seluruh aspek kehidupan, lain
tidak.
Maka marilah kita hidupkan semangat
mencari ilmu agama agar kemudian ibadah kita benar dan dapat diterima
oleh Allah, sehingga hidup kita benar-benar bermakna dan tujuan hidup
kita tercapai. Marilah kita baca Al-Qur’an, kita pelajari isinya melalui
buku-buku agama, kita baca hadits-hadits, kita pahami maknanya melalui
majelis-majelis pengajian, agar tak menyesal jika sudah sampai di
kuburan nanti.
rujukan: mediamuslim.info